Jambu, Encok, dan Budaya Bangsa: Mengenang Pak Raden

Is Mujiarso - detikhot
http://ift.tt/1PemuHz
Jakarta -

Barangkali tak ada tokoh fiktif dalam industri budaya pop di Indonesia yang bisa menandingi popularitas Pak Raden. Bahkah Drs. Suyadi, orang di balik karakter boneka dalam serial Si Unyil tersebut, dalam kesehariannya pun dipanggil dan disapa sebagai Pak Raden.

Suyadi memang tak sekedar seorang pengisi suara. Dalam serial produksi PPFN yang ditayangkan di TVRI sejak awal 1980-an itu, dia sekaligus bertindak sebagai direktur artistik. Artinya, dialah yang menggagas sosok-sosok boneka itu, memberinya karakterisasi, termasuk pada tokoh Pak Raden yang diperaninya sendiri.

Belakangan, ketika penulis skenario pertama ‘Si Unyil’ Kurnain Suhardiman meninggal dunia pada 1991, Suryadi pun menggantikannya. Peran ganda sebagai direktur artistik dan penulis skenario itu membuatnya menjadi cukup kewalahan. Akibatnya, 'Si Unyil' tak mampu mempertahankan momentumnya lagi, sehingga akhirnya berhenti tayang pada 1993. Tentu saja banyak faktor lain yang menyebabkan akhirnya Unyil dan kawan-kawannya tergeletak di kotak-kotak berdebu di kantor PPFN. Kehadiran televisi swasta dengan aneka serial animasi superhero yang jauh lebih meriah dan seru membuat 'Si Unyil' kehilangan daya pikatnya.

Namun, sosok Pak Raden tetap hidup hingga bertahun-tahun kemudian dalam wujud keseharian seorang Suyadi yang tinggal di sebuah gang di Petamburan, Tanah Abang, Jakarta. Suyadi adalah Pak Raden, dan Pak Raden adalah Suyadi, dengan kain, jas beskap dan belangkon, dilengkapi tongkat dan ditambah kumis tebal. Yang istimewa dari karakter Pak Raden, yang membuatnya tetap hidup dan akan terus dikenang, bukan lantaran sang tokoh seorang “hero” atau panutan. Sebaliknya, sosok Pak Raden, seperti pernah digambarkan sendiri oleh Suyadi ketika diwawancarai seorang peneliti asing, “Orang yang bisa Anda benci, orang yang malas, kikir, tidak memiliki semangat gotong royong sama sekali…menjengkelkan dan mengganggu penduduk.

Bagi generasi yang dibesarkan di era awal 80-an tentu masih ingat, bagaimana sosok itu mewarnai hari Minggu pagi dengan kemarahan-kemarahannya pada anak-anak di desa Suka Maju: Unyil, Ucrit, Usrok, Melani, Cuplis, dan Endut.

Rumah Pak Raden selalu menarik perhatian anak-anak itu karena di halamannya tumbuh pohon jambu biji. Setiap kali berbuah, pohon itu selalu menggoda anak-anak untuk mencurinya. Karena, untuk meminta percuma saja, tidak akan pernah diberi oleh pemiliknya. Dan, setiap kali anak-anak itu mencoba untuk mencuri jambu-jambu itu, mereka selalu ketahuan dan akhirnya dikejar-kejar oleh Pak Raden. Gara-gara kenakalan anak-anak itu, encok Pak Raden pun kerap kumat. Istrinya yang penyabar akan muncul mengingatkannya agar jangan suka marah-marah.

Faktor penyakit encok itu pulalah yang kerap dijadikan Pak Raden sebagai alasan untuk menghidar setiap ada ajakan warga desa untuk kerja bakti membersihkan lingkungan. Bersama dengan tokoh Pak Ogah dan Ableh, Pak Raden ditampilkan sebagai sosok orang dewasa yang “menyimpang”, tak patut diteladani. Akibat perilakunya ia kerap mengalami kesialan, atau dipermalukan oleh warga desa lainnya, dan itu sering menjadi “ending” cerita sebagai simbol dari bentuk pesan moral yang hendak disampaikan oleh episode serial Si Unyil.

Lewat kontras antara Pak Raden dan kehidupan desa Suka Maju yang harmonis penuh dengan warga yang baik-baik, patuh, taat dan relijius, ‘Si Unyil’ menjadi serial boneka yang membawa misi serius sebagai bagian dari media propaganda pemerintah untuk membangun nilai-nilai budaya dan watak bangsa. Semua itu diperhitungkan dan dirancang oleh Suyadi ketika ia sejak awal diajak oleh direktur PPFN (Pusat Produksi Perfilman Negara) G Dwipayana untuk menggagas serial boneka tersebut. Ia misalnya menciptakan tokoh Engkong yang beretnis Cina (engkong-nya Melani) untuk memberi nuansa keragaman yang harmonis dalam masyarakat.

Karakter Pak Raden menjadi “memorable” juga bukan karena penampilannya yang khas priyayi Jawa keturunan ningrat, sebab Unyil dan tokoh-tokoh lain pun punya kekhasan masing-masing. Unyil misalnya, begitu ikonik dengan peci dan sarung yang selalu terselempang di lengannya. Demikian pula dengan Pak Ogah; celetukannya, “Cepek dulu dong” terus terngiang hingga sekarang. Bahkan nama Pak Ogah kemudian menjadi sebutan bagi orang yang “mengatur” lalu lintas di perempatan jalan pada saat macet. Pak Raden terus lekat dalam imajinasi karena ia menjadi salah satu faktor kelucuan dalam serial yang penuh pesan moral kebangsaan itu. Sebuah serial anak-anak yang justru menggali kelucuan dari parodi tokoh-tokoh dewasa.

Pak Raden hampir selalu menjadi kejutan di “ending”, sebagai tokoh yang diejek, ditertawakan, lalu marah-marah dan ujung-ujungnya menjerit mengadu-aduh karena encoknya kumat. Dalam sebuah episode tentang peringatan Hari Anak Nasional misalnya, Pak Raden dikisahkan datang terlambat ke acara sehingga tidak mendapat kesempatan untuk berbicara; ia pun protes dan marah. Dalam episode lain yang menceritakan tentang lomba lukis, Pak Raden juga marah karena juri yang didatangkan dari Jakarta menilai semua lukisan peserta sama bagusnya. Pak Raden tidak terima karena ia merasa lukisannya paling bagus di antara yang lain.

Meninggalnya Suyadi pada Jumat (30/10) malam di usia 82 tahun membangkitkan kembali banyak kenangan dan inspirasi dari serial boneka yang berjaya (1981-1993) di zaman Orde Baru tersebut. Dari yang lucu-lucu dan konyol hingga analisis yang serius. Tentang jambu, encok dan bagaimana konstruksi budaya bangsa dipantulkan lewat layar kaca dari sebuah dunia rekaan yang diciptakan dari boneka-boneka.

(mmu/kak)
Lukisan terakhir Suyadi (kiri), yang menggambarkan anak-anak tengah menonton pertunjukan wayang.
Lukisan terakhir Suyadi (kiri), yang menggambarkan anak-anak tengah menonton pertunjukan wayang.<br />
Redaksi: redaksi[at]detikhot.com
Informasi pemasangan iklan
Hubungi sales[at]detik.com,


Previous
Next Post »
Thanks for your comment